Salah satu acara TV yang sering saya tonton waktu masih tinggal di Jepang adalah Kissiya. Ini singkatan dari kisu dake jya, iya. Artinya kalau diterjemahkan dalam bahasa gaul “kalau cuma cium sih, ogah”. Isi acara ini, seperti dari namanya, adalah liku-liku hubungan seksual. Acara diasuh oleh komedian kawakan, Shinnosuke Shimada.
Acara dikemas dalam format talk show, dipadu sedikit dengan reality. Biasanya ada seseorang, atau pasangan yang mengadukan masalah seksual yang dia hadapi, lalu program itu membantu menyelesaikan masalahnya. Tentu saja format acara secara keseluruhan mengalir secara kocak, karena dipandu oleh seorang pelawak.
Salah satu cerita di acara itu yang masih saya ingat adalah tentang seorang gadis berusia sekitar 23 tahun. Dia sudah punya pacar. Dan dia masih perawan. Dia merasa sudah tidak patut untuk tetap perawan di usia tersebut. Dia ingin melakukan hubungan seks, tapi bingung bagaimana memulainya. Bingung, sekaligus takut. Juga malu untuk mengkomunikasikannya dengan sang pacar.
Melalui beberapa perbincangan lucu akhirnya si gadis berhasil diyakinkan bahwa hubungan seks, termasuk yang pertama kali harus berjalan secara natural tanpa tekanan. Tentu saja disertai nasehat konyol kepada si pacar, tentang bagaimana seks yang pertama kali harus dilakukan.
Acara ini bagi saya informatif. Dalam arti dari acara tersebut saya mendapat gambaran tentang presepsi orang Jepang terhadap seks, serta bagaimana peri laku mereka. Secara umum saya melihat orang Jepang sekarang seperti OKB dalam hal seks. Iklim seks bebas sudah ada. Artinya sudah lazim orang melakukan hubungan seks tanpa ikatan pernikahan. Tapi pada saat yang sama, orang-orang Jepang itu tipikal orang Asia yang masih pemalu.
Kebebasan dalam hal hubungan seksual di masyarakat Jepang saya rasakan saat saya menghadiri sebuah resepsi pernikahan seorang teman. Satu-satunya resepsi pernikahan yag saya hadiri selama saya di Jepang. Di acara itu disajikan presentasi tentang sejarah hubungan kedua mempelai hingga mereka ke pelaminan. Menjelang akhir presentasi ditunjukkan foto hasil tes urin yang menunjukkan mempelai perempuan positif hamil, yang kemudian membuat pasangan ini memutuskan untuk menikah.
Saya masih menemukan istilah dekichatta kekkon, pernikahan karena si perempuan terlanjur hamil. Adanya istilah ini sebenarnya menunjukkan sisa-sisa iklim konservatif, di mana kehamilan atau hubungan seksual seharusnya dilakukan sebelum pernikahan. Tapi nampaknya istilah ini akan berganti menjadi dekita kekkon. Dekichatta adalah bentuk non-formal dari dekite simatta. Ungkapan dengan tte-shimatta biasanya untuk menunjukkan sesuatu tidak diinginkan, terlanjur, dan juga tidak terlalu baik. Dekita, merujuk pada kehamilan bermakna lebih datar, hanya kehamilan biasa, bukan sesuatu yang patut disesali. Bergesernya ungkapan dari dekichatta kekkon menjadi dekita kekkon menunjukkan pergeseran presepsi masyarakat terhadap hubungan seksual pra nikah.
Anak-anak muda Jepang memang sudah menganggap hubungan seks di luar nikah sebagai hal yang lumrah. Para orang tua nampaknya masih setengah-setengah. Dalam arti, sebagian masih ingin agar tradisi lama dijaga, tapi tak kuasa menahan gempuran arus kebebasan.
Yang mengkhatawirkan adalah euforia kebebasan yang berlebih. Yaitu kebebasan tanpa batas, seperti hubungan seks di usia dini. Konon, anak-anak di Jepang sudah mulai berhubungan seks sejak usia SMP. Juga, karena seks belum jadi topik pembicaraan terbuka, banyak anak muda melakukan hubungan seks tanpa pengetahuan, sehingga gampang terjerumus pada seks yang tidak sehat.
Ini masih ditambah dengan masalah pelacuran tak resmi, di mana anak-anak perempuan muda berhubungan dengan laki-laki yang lebih tua untuk mendapatkan imbalan uang, yang disebut dengan istilah enjyo kousai.
Saya tak tahu persis, sejak kapan masyarakat Jepang menjadi bebas dalam hal seks. Dugaan saya erat ini terjadi bersamaan dengan berkembangnya ekonomi Jepang sejak akhir dekade 60-an, hingga ke masa booming tahun 80-an.
Tak banyak saya lihat institusi atau regulasi yang mengontrol kebebasan seksual di Jepang. Penerbitan majalah/buku yang memuat gambar telanjang demikian bebas. Demikian pula video porno. Waktu saya baru-baru datang di Jepang tahun 1997 saya masih menemukan buku/majalah yang memuat gambar telanjang dijual bebas di convenient store. Untuk membeli memang dibatasi bagi usia 20 tahun ke atas. Tapi karena tidak disegel, siapa saja bisa melihat isi majalah itu di toko tersebut. Belakangan diberlakukan aturan wajib segel.
Adapun pelacuran, secara resmi hukum Jepang melarangnya. Dalam arti, layanan seksual yang membolehkan intercourse. Tapi tidak ada larangan bagi yang diluar itu, seperti layanan oral seks. Layanan prostitusi di Jepang biasanya disertai dengan term and condition bahwa layanan intercourse tidak diberikan. Tapi siapa yang menjamin hal itu tidak terjadi?